Selasa, 19 Agustus 2008

situs sumedang

Para arkeolog yang tergabung dalam Satgas Penanganan dan Percepatan Relokasi Situs/Cagar Budaya di Jatigede, Jawa Barat, manargetkan eskavasi (penggalian) lima situs di kawasan itu tuntas pada akhir tahun ini.
"Seluruh situs cagar budaya yang ada di kawasan Jatigede itu jumlahnya sekitar 28 situs. Namun baru lima situs yang dilakukan eskavasi, ditargetkan tuntas akhir tahun ini," kata Ketua Satgas Penanganan dan Percepatan Relokasi Situs/Cagar Budaya Jatigede, Nunun Nurhayati kepada ANTARA di Bandung, Jumat.
Ia mengatakan, pihaknya akan berupaya menyelamatkan dan merelokasi situs di kawasan Jatigede
karena areal itu kemungkinan besar akan terendam bendungan (waduk) Jatigede yang segera dibangun pemerintah.
Situs-situs yang tersebar di kawasan Jatigede itu, menurut Nunun berupa makam-makam, candi, punden berundak serta di beberapa tempat ditemukan arca-arca peninggalan masa lalu.
"Secara akademis tidak ada istilah relokasi situs/cagar budaya itu, namun karena kawasan itu akan menjadi waduk, maka mau tidak mau relokasi itu dilakukan agar situs itu masih bisa diketahui oleh generasi muda," katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, kawasan tempat relokasi situs itu sudah disiapkan di Desa Lingga Kecamatan Cisitu Kabupaten Sumedang seluas tiga hektar. Kawasan itu tepatnya di kawasan perbukitan berdekatan dengan Taji Malela.
"Proses yang dilakukan saat ini, identifikasi dan observasi terhadap situs itu, salah satunya untuk mendapatkan cara atau mengetahui susunan situs itu agar tidak berubah," katanya.
Nunun menyebutkan, proses relokasi situs itu cukup rumit, selain harus mempertimbangkan susunan dan originalitas situs itu, juga diperlukan pendekatan ritual masyarakat di lokasi itu.
"Situs itu bisa menjadi obyek wisata jiarah atau wisata pendidikan. Untuk beberapa benda cagar budaya seperti arca atau sejenisnya bisa disimpan di museum," kata Nunun Nurhayati.

Waduk Jatigede Bakal Merendam Makam Prabu Siliwangi

Lima kelompok besar situs di Kecamatan Darmaraja dan Wado, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, dikhawatirkan bakal terendam air, jika rencana pembangunan Waduk Jatigede diteruskan. Kelimanya adalah Astana Gede, Astana Cipeeut, Cicanting, Bengkok, dan Paniis. Yang menarik, di salah satu kelompok situs itu, yakni Astana Gede, terdapat makam Prabu Siliwangi, raja masyhur Kerajaan Sunda.
Kekhawatiran itu diungkap ahli sejarah Sunda dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Nina Herlina Lubis, kepada Tempo News Room, Senin (1/3). Saat ditemui, ia tengah berada di kantornya yang lain, yakni Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Unpad di Jalan Dipatiukur, Bandung.
"Jika proyek itu tetap diteruskan, kerugiannya tak hanya dari segi sejarah dan arkeologi. Bisa saja, hal itu menimbulkan kemarahan masyarakat setempat," kata Nina. Lalu, ia mengingatkan kasus pembongkaran prasasti Batutulis, Bogor, yang menuai protes sejumlah kalangan, beberapa waktu lalu.
Seperti ditulis sebelumnya, pemerintah Provinsi Jawa Barat berniat untuk meneruskan pembangunan Waduk Jatigede. Alasannya, proyek yang sempat tertunda lebih dari 40 tahun itu, sudah banyak menyedot dana, terutama untuk pembebasan lahan (Koran Tempo, 1/3).
Menurut Nina, di lokasi situs tersebut terdapat tahun 2500-500 SM. Punden tersebut menunjukkan perpaduan kebudayaan dan kepercayaan yang masuk setelah zaman megalitik, seperti kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam.

Bahkan, di Astana Gede, teras atas pundennya terdapat makam Mbah Jalul, Lembu Agung, dan Dalem Demang, yang notabene leluhur masyarakat Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang. Selain itu, ada juga makam Ratna Inten dan Eyang Wulan--yang tak lain adalah Prabu Siliwangi, serta Prabu Haji Putih, Raja Kerajaan Sumedang Larang.
"Sebaiknya, pemerintah mengamankan situs tersebut. Apalagi, tiga di antara lima kompleks situs tersebut belum diobservasi," kata Nina. Sejauh ini, dua kompleks yang sudah diobservasi adalah situs Astana Gede dan Cipeeut. Dari situ, berbagai peninggalan bersejarah yang ada di dalamnya bisa diketahui.
Menurut Nina, situs tersebut bisa diamankan dengan cara mengundang arkeolog untuk mencatat peninggalan yang ada. Setelah itu, semuanya dipindahkan ke museum atau ke lokasi yang tidak tergenang air. Langkah ini pernah dilakukan di Wai Rarem, Lampung. Tentu saja, pemindahan itu harus berdasarkan kesepakatan masyarakat setempat sehingga tak memunculkan permasalahan baru.
Meski pemindahan dimungkinkan, Nina mengaku dirinya tetap lebih sreg jika situs-situs itu tetap aman di tempatnya semula.


Mareongge dan ilmu pelet

Zaman dahulu punya masalah cinta ingin tokcer, datanglah ke makam keramat Marongge. Sekurang-kurangnya begitu kata peziarah. Itu sebabnya, ke makam yang terletak di Kecamatan Tomo Kabupaten Sumedang ini, semakin banyak yang datang. Tidak tua, tidak muda, bahkan wanita penjaja cinta juga banyak yang meminta “berkah” di sana agar “dagangan”-nya laku keras.Saat berkunjung ke Marongge, dini hari malam Jumat Kliwon lalu, banyak pria dan wanita berduyun-duyun turun ke Sungai Cilutung. Mereka mandi ramai-ramai sambil menebarkan bunga tujuh rupa ke permukaan sungai yang airnya terasa amat dingin. Ada yang lebih khas, banyak di antara mereka yang mandi sambil membuang pakaian dalam mereka, apakah itu celana, atau rok dalam kalau perempuan.

Untuk apakah itu? “Itulah salah satu persyaratan upacara ziarah di sini,” tutur Karti (45), pedagang tahu Sumedang yang setiap malam Jumat Kliwon jualan tahu di sana.

Karti tak sendirian dalam menangguk untung di Marongge. Puluhan bahkan ratusan pedagang makanan, mulai dari pedagang kupat tahu, tahu goreng, kerupuk hingga pedagang minuman hangat seperti kopi dan sebagainya, berderet di depan kompleks makam Marongge. Berjualan di sini sepanjang malam adalah kegiatan rutin di Marongge, terutama malam kliwonan. “Bulan Maulud lebih ramai lagi,” tutur Karti.

Minta jodoh

Sebagaimana makam keramat di mana pun, ke makam keramat Marongge, selalu datang peziarah dengan seribu-satu macam keperluan. Mulai dari ingin naik pangkat hingga ingin diberi kemudahan rezeki. Tetapi, yang lebih “hebat” dari itu, keramat Marongge terkenal karena peletnya. Pelet adalah semacam ilmu pemikat cinta. Barang siapa yang tergila-gila oleh perempuan atau lelaki, bila ingin cintanya tokcer, boleh datang ke Marongge.

Menurut Karti, kehebatan pelet Marongge sungguh spektakuler. “Kalau mau coba, jangan sama perawan, cobalah sama yang sudah punya suami. Si perempuan bersuami itu pasti terpikat sama kita,” tuturnya. “Tapi hati-hati, lho, ilmu pelet Marongge tak boleh dibuat mainan. Mendapatkan cinta bukan untuk iseng atau coba-coba. Betapa hebatnya pelet marongge. Tetapi, jangan sekali-kali dipakai untuk menggoda perempuan bersuami atau lelaki beristri,” sambung Karti lagi mengingatkan.

Oleh karena itu, tidak aneh kalau ke Marongge, di malam-malam yang sudah ditentukan, sering banyak lelaki atau perempuan datang berziarah. “Kalau yang datang seorang lelaki yang nyari calon istri dan perempuan yang nyari calon suami, biasanya tak perlu repot-repot menghadap sang juru-kunci sebab di depan halaman komplek makam itu, mereka sudah saling lirik dan bertukar senyum,” kata Pendi, penduduk sekitar.

Namun, katanya, kejadian itu hanya kebetulan belaka. Biasanya yang datang ke Marongge lantaran sakit hati cintanya ditolak. “Nah, kalau yang ini, keramat Maronggelah bagiannya,” kata Junaedi, sesama pedagang makanan.

Lantaran dipercaya betul bahwa Pelet Marongge pengundang cinta, jangan heran kalau ke tempat itu juga banyak hadir para wanita penjaja cinta. Mereka bukan datang untuk mencoba menggoda peziarah, tetapi karena pingin minta “berkah” agar “dagangan”-nya laku keras.

Noni, sebutlah begitu. Dia adalah salah-satu contoh pelanggan Pelet Marongge. Tiap kliwonan, ia pasti hadir di Marongge. Kalau minta tolong sama juru-kunci cukup bilang pingin banyak disayang orang. “Hasilnya lumayan, deh. Kendati banyak saingan berusia muda, tapi langganan tetap berduyun,” tutur Noni, genit. Di usia 35 tahun, Noni sudah mengaku tua sebab para pesaingnya malah baru usia belasan tahun.

Jangan dibuang ke kali

Di malam hari menjelang dini hari, semua peziarah bakal dibimbing menuju Sungai Cilutung. Mereka mesti mandi sambil membuang pakaian dalam yang dipakainya.

Tetapi, kata juru kunci, upacara buang pakaian sebetulnya sekadar simbol. “Yang dibuang mestinya pakaian bekas bahkan sudah lusuh dan kotor. Itu adalah simbol di mana hal-hal kotor yang menempel di tubuh kita diminta dilepaskan dan biarkan menjauh dari tubuh kita,” tutur juru kunci.

Nah, inilah kebahagiaan bagi penduduk setempat. Kalau tiba harinya banyak peziarah yang mandi dan buang pakaian dalam, pada subuh harinya di hilir sana puluhan penduduk sudah siap-siap untuk mencegat “yang mau lewat”.

Kami berhamburan ke tengah sungai untuk berlomba menarik pakaian dalam yang lagi berenang ke hilir,” tutur Edih ketawa renyah.

Empat putri cantik

Makam keramat siapakah di Marongge sana sehingga banyak diminati para pendulang cinta? Tak lain, Marongge adalah makamnya empat orang putri cantik di zaman dulu kala. Mereka adalah Embah Gabug, Embah Setayu, Embah Naidah, dan Embah Naibah. Mereka semua cantik-cantik sehingga membuat tergila-gila siapa pun yang melihatnya. Namun sayang, kendati banyak ksatria, bangsawan bahkan para raja datang melamar, keempat putri itu tak pernah melayani lelaki.

“Kalau ada lelaki yang bisa memanggil kami seperti ini, bolehlah kami dipersunting,” tutur para putri itu. Mereka memperagakan sebuah kebolehan. Ke atas permukaan Sungai Cilutung dilemparkan sebuah kukuk (semacam buah untuk disayur, seperti terung bulat tetapi ukuran besar). Buah kukuk itu melayang di permukaan sungai, berjalan menuju ke hilir. Dengan kesaktian para putri cantik, sang kukuk dipanggilnya pulang. Buah kukuk pun kembali menuju ke hulu.

Ini adalah kesaktian yang tak sembarang orang bisa, termasuk pula para lelaki itu. Buah kukuk bisa terpanggil jiwanya karena kehebatan ilmu pelet (penarik sukma) para putri itu. “Kukuk, benda tak bernyawa saja bisa kena pelet, apalagi manusia yang punya jiwa,” tutur Pendi.

Jadi sejak saat itu, keempat putri cantik selalu dimintai tolong untuk menundukkan sukma. Pelet namanya. Oleh karena itu, di tempat itu hingga kini dikenal pelet Marongge.

Sumber : Pikiran Rakyat

Tidak ada komentar: